Skip to main content

Khilafah Bermanhaj Kenabian

Repost by Fauzan Ramli

 

 

Yudi Wahyudin [1]

Perdebatan paling fenomenal di abad 20 adalah perdebatan tentang khilafah. Paling tidak ada tiga poros utama pendapat tentang hal ini. Pertama, mereka yang meyakini wajibnya menegakkan khilafah di atas manhaj kenabian dengan berjihad di jalan Allah. Kedua, mereka yang meyakini wajibnya menegakkan khilafah dengan cara damai (baca: thalab an-nushrah seperti HT). Ketiga, mereka yang meyakini bahwa menegakkan khilafah bukanlah merupakan kewajiban, tapi yang wajib adalah menegakkan syariat Islam meski dalam sistem pemerintahan yang bukan khilafah sekalipun.

Semua pendapat memiliki argumentasi. Tapi manakah pendapat yang paling layak untuk kita pegang? Untuk menjelaskan hal ini, kita perlu merujuk berbagai dalil al-Quran, hadits dan penjelasan ulama yang kompeten mengenai hal ini.

Allah SWT., berfirman:

 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih diantara kalian, yaitu akan mengangkat kalian sebagai Khalifah di muka bumi sebagaimana telah diangkat Khalifah orang-orang sebelum mereka. Dan akan diteguhkan bagi mereka agama yang telah Allah ridhai, dan akan diganti setelah rasa takut mereka dengan rasa aman, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak menserikatkan-Ku dengan sesuatu pun. Dan barang siapa yang kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang fasik (QS. Al-Nur, 55)

Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Allah SWT menjanjikan kekhilafahan, penguasaan wilayah, tegaknya syariat Allah secara sempurna, kemudian rasa takut dan getir berubah menjadi suasana damai dan aman. Janji ini Allah tunjukkan bagi orang yang beriman dan beramal shalih. Tapi tidak cukup di situ, ayat ini juga memperlihatkan langkah-langkah terwujudnya janji Allah SWT, yaitu: tegaknya khilafah yang termasuk di dalamnya penguasaan wilayah, tegaknya syariat Allah secara sempurna (sebab Allah meridhai muslimin yang menjalankan Islam secara kaffah dan menyatakan bahwa mereka yang tidak menjalankan Islam secara kaffah ada dalam ancaman Ittiba’ al-khuthuwât as-Syaithan atau mengukuti langkah-langkah syaitan, lihat QS. Al-Baqarah, 208), lalu setelah syari’at Islam tegak secara sempurna, barulah tercipta rasa aman setelah sekian lama dalam kondisi mencekam.

Kekhilafahan seperti apakah yang telah Allah janjikan itu? Kenapa pilihannya adalah khilafah di atas manhaj kenabian? Bukan jalan diplomasi atau perjuangan melalui forum demokrasi dan parlemennya? Bukan pula mendirikan sebuah kerajaan, sulthân atau al-mulk? Bukan pula menegakkan negara federal yang terdiri dari negara-negara muslim? Rasulullah Saw., bersabda,

 

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكاً عاضاً فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكاً جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت

 

Akan berkuasa pada kalian Era Kenabian—sesuai kehendak Allah hingga Dia mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya—kemudian era kekhalifahan sesuai kehendak Allah hingga Dia mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya—kemudian era dinasti yang menggigit– sesuai kehendak Allah hingga Dia mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya—kemudian era kekuasaan yang memaksa (diktator)—sesuai kehendak Allah hingga Dia mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya—kemudian era kekhalifahan di atas manhaj kenabian.Kemudian beliau diam. (HR. Ahmad, al-Bazzar, Thabrani, dan dishahihkan oleh al-‘Iraqi serta disetujui keshahihannya oleh Imam al-Albani).

Hadits ini secara gamblang menyatakan masa demi masa yang akan dialami oleh ummat Islam. Secara runut Rasulullah Saw., menjelaskan: masa kenabian selama 23 tahun, masa khilafah sahabat di atas manhaj nabi selama 30 tahun, masa raja menggigit dan masa kekuasaan memaksa hingga era millenium, dan kemudian masa kembalinya kekhilafahan di atas manhaj kenabian di akhir zaman.

Masa kenabian adalah masa ketika Rasulullah Saw., diutus hingga beliau wafat. Masa kekhilafahan di atas manhaj nabi yang pertama adalah selama 30 tahun. Seperti dijelaskan dalam hadits berikut:

 

                            (خلافة النبوة ثلاثون سنة، ثم يؤتي الله الملك من يشاء أو ملكه من يشاء  (رواه أبو داود

 

Khilafah kenabian itu usianya 30 tahun. Kemudian Allah SWT menganugerahkan kekuasaan kepada yang Dia kehendaki, atau menganugerahkan kerajaan-Nya kepada yang ia kehendaki. (HR. Abu Daud)

Menurut al-‘Alqami, usia kekhalifahan sahabat di atas manhaj kenabian yang sangat masyhur, atau al-Khilafah al-Rasyidah, yaitu dihitung dari Abu Bakar as-Shiddiq r.a., hingga Ali bin Abi Thalib r.a., dan ditambah beberapa hari kekhalifahan Hasan bin ‘Ali r.a., (sebelum ia menyerahkannya kepada Mu’awiyyah) lalu beberapa bulan usia kekhilafahan Mu’awiyyah r.a. Masa-masa itu tepat 30 tahun (Lihat ‘Aun al-Ma’bûd, 10/164).

Berarti setelah era kekhalifahan di atas manhaj kenabian edisi pertama, muncullah era dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah, serta dinasti al-Mamâlik lainnya setelah itu yang tersebar di Afrika, Syam, dan Turki—meski menurut sebagian ulama adalah kerajaan itu adalah bentuk lain dari kekhilafahan—tapi itu semua bukanlah khilafah di atas manhaj nabi. Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Boleh menamai raja-raja setelah Khulafa al-Rasyidin sebagai khalifah. Meskipun mereka adalah raja yang bisa disebut khalifah, tapi mereka bukanlah Khalifah di atas manhaj nabi.” (Ibn al-Taimiyyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, 24). Untuk melihat berbagai macam kekurangan secara syari’i dinasti-dinasti ini hingga kekhilafahan mereka tidak disebut khilafah di atas manhaj nubuwwah, para pembaca dapat merujuk kitab al-Khulafâ, karya Imam As-Syuyuthi atau Al-Khilâfah wa al-Mulk, karya Ibnu Taimiyyah (kitab yang disadur dari Majmû’ al-fatâwa).

Penulis meyakini, bahwa berakhirnya dinasti Turki Utsmani adalah menandakan berakhirnya era Mulkan ‘Adhzan (atau dinasti yang mendzalim), disertai dengan beberapa pengecualian dalam keumuman, seperti Khalifah ‘Umar bin Abd al-‘Azîz dari Bani Umayyah. Sebab mengecualikan dalam hal umum adalah lumrah.

Setelah selesai era Mulkan ‘Adhzan,  muncullah era Mulkan Jabbariyyan (penguasa yang memaksa) hingga era millenium. Kenapa saya terjemahkan mulkan yang berarti kerajaan dengan penguasa? Sebab ciri khas monarki adalah memaksa. Jika yang dimaksud adalah kerajaan an sich, maka terjadi yang disebut pengulangan kata. Dan bahasa Arab, sangat menghindari pengulangan jika itu tidak bermakna apa-apa. Oleh sebab itu, mulkan jabbariyyan, adalah para penguasa—bisa jadi dia adalah raja atau bisa jadi dia bukan seorang raja—yang memiliki otoritas memaksa pada seluruh dunia, termasuk muslim di dalamnya.

Oleh sebab itu, para penguasa yang memaksa adalah mereka yang tercatat dalam sejarah menusia sebagai negara-negara penjajah, singkatnya yaitu Eropa, termasuk Amerika dan Australia. Sebab dalam proses penjajahan ini, bangsa Eropa menguasai tanah-tanah suku Indian, kemudian menamainya Amerika. Lalu orang-orang Eropa menduduki tanah suku Aborigin, kemudian menamai tanah mereka Australia. Bangsa dunia tidak akan pernah melupakan kekejaman demi kekejaman bangsa para penjajah yang memaksa ini, sampai suatu saat negara-negara muslim diberikan kemerdekaan semu. Kenapa semu? Sebab meskipun mereka merdeka secara teritorial, tapi bangsa muslim tidak pernah merdeka secara ideologi politik. Setelah fase penjajahan fisik, negara-negara Eropa, termasuk Amerika yang paling santer dalam hal ini, memaksakan satu sistem untuk seluruh dunia, yaitu sistem demokrasi. Eropa dan aliansinya dengan getol mengkampanyekan bahwa jika tidak menganut demokrasi, maka negara teresebut tidak akan pernah maju. Mereka pun kemudian membuat standar-standar kemajuan, kelayakan, pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan seabreg standar lain untuk sebuah negeri menurut yang mereka inginkan. Era liberalisme kapitalis inilah yang dimaksud hadits sebagai era Mulkan Jabbariyyan.

Lalu setelahnya, Rasulullah Saw., menjanjikan hal yang sama dengan yang telah Allah SWT janjikan dalam QS. Al-Nûr, 55. Di akhir zaman, akan kembali Khilafah di atas manhaj kenabian. Oleh sebab itu, mendirikan khilafah di atas manhaj kenabian merupakan kewajiban, bukan secara ‘aqlî tapi secara syar’î. Hal ini dapat difahami dengan sebuah qaidah, “al-amru bi al-syai-i amrun biwasâ-ilihi.” Perintah melakukan sesuatu, merupakan perintah untuk mewujudkan wasilahnya. Bahwa syariat Islam tidak akan pernah tegak secara komprehensif—seperti terbukti dalam paparan sejarah panjang ummat Islam di bawah payung liberalisme—kecuali dengan menegakkan wasilahnya. Dan wasilahnya itu adalah menegakkan khilafah di atas manhaj kenabian seperti yang pernah dulu dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw.

Ibnu Taimiyyah menyatakan,

Maka kami berhujjah, bahwa menegakkan khilafah di atas manhaj kenabian bukan perkara yang mubâh (boleh dilakukan, boleh ditinggalkan), akan tetapi merupakan kewajiban berdasarkan hadits, “Wajib kalian menjalankan sunnahku dan sunnah al-Khulafâ al-Rasyidin setelahku. Berpegang teguhlah terhadap sunnah mereka!.” (Ibn al-Taimiyyah, al-Khilâfah wa al-Mulk, 28)

Muhammad bin Rasyid bin ‘Ali Ridha dalam kitabnya, al-Khilâfah, mengatakan, “Telah sepakat ulama salaf dan ahlu sunnah, dan mayoritas jumhur ulama lainnya, tentang wajibnya ada seorang imam saja (khilafah). Kewajiban ini berlaku secara syar’i bukan ‘aqli sajaHal ini berdasarkan dalil. Pertama, Ijmâ’ sahabat. Kedua, berdasarkan kaidah, tidak sempurna suatu yang wajib kecuali dengan wasilahnya, maka mewujudkan wasilahnya merupakan kewajiban pula. Ketiga, hal ini (pengangkatan khilafah) dapat menarik ragam manfaat dan menolak ragam madharat.” (al-Khilâfah, 18/1)

Lalu bagaimana menegakkan khilafah dengan manhaj nabi itu di zaman sekarang? Apa yang dimaksud dengan iman dan beramal shalih dalam ayat di atas?

Untuk menjelaskan ini, mari kita lihat apa yang disabdakan Rasulullah Saw., di bawah ini:

 

        لا تزال عصابة من أمتي يقاتلون على أمر الله قاهرين لعدوهم لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك

 

Tidak henti-hentinya sekelompok dari ummatku, mereka berperang di atas perintah Allah. Mereka menguasai musuh mereka, tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang tidak sepakat dengan cara mereka hingga tibanya hari kiamat, sedangkan mereka dalam keadaan demikian (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa iman dan amal shalih yang dijanjikan Allah SWT adalah dengan cara berjihad di jalan Allah SWT, bukan cara diplomasi atau perundingan di meja parlementer. Tentu saja, ketika jihad difahami sebagai puncak amal shalih, artinya masih ada amal lain yang dianggap amal shalih, seperti menimba ilmu, mengajarkan Islam, serta amal-amal lain yang termasuk kategori amal shalih.  Akan tetapi dengan puncak amal shalih inilah (baca: berjihad), kekhilafahan dengan manhaj kenabian dapat ditegakkan.

Cara-cara inilah yang terus dilakukan oleh ‘Ishabah dari ummat Rasulullah Saw., atau sebuah kelompok yang jumlahnya tidak banyak dibanding jumlah ummat Islam yang ada pada waktu itu. Hadits di atas pun menjelaskan bahwa gerakan jihad mereka terus mendapat cercaan dan deraan dari berbagai pihak termasuk dari kalangan umat Islam sendiri, karena mayoritas manusia menginginkan cara-cara damai, bukan perang. Kesimpulan ini ditarik dari sabdanya, “tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang tidak sepakat dengan cara mereka hingga tibanya hari kiamat.” Tapi cercaan dan celaan itu sama sekali tidak bergeming, dan mereka terus melakukan jihad di atas perintah Allah SWT. (Dalam QS. Al-Baqarah, 216, Allah menginformasikan bahwa berperang pada dasarnya adalah perkara yang kurang disukai oleh mukmin).

Lalu kenapa mereka terus-terusan berperang? Allah SWT menjelaskan dalam QS. An-Nur, 55 di atas, bahwa ummat Islam akan merasakan kembali rasa aman setelah rasa takut. Maka dapat difahami, bahwa perang yang dilakukan oleh sekelompok orang ini adalah perang melawan peperangan yang dinahkodai orang-orang kafir dari golongan orang-orang musyrik dan ahlu al-Kitab, perang melawan kaum munafiq yang tidak rela seluruh aspek Islam ditegakkan, dan perang melawan orang-orang murtad yang justru berpihak dan bershaf pada kebathilan.

Allah SWT berfirman,

 

                                وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

 

Dan mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kalian hingga memurtadkan kalian dari agama kalian dengan segenap kemampuan. (QS. Al-Baqarah, 217).

Melenyapkan keimanan dan menegakkan pilar-pilar kekafiran adalah lebih berbahaya dan menakutkan dari kezaliman dan pembunuhan. Bagi orang mukmin yang dijanjikan kemenangan seperti dalam QS al-Nûr 55 di atas, rasa takut yang harus hilang itu bukan sekedar rasa takut dizalimi, disiksa, dipenjara, dibunuh, dan disembelih oleh kekafiran. Bahaya-bahaya itu pun jelas termasuk bahaya bagi setiap orang-orang yang berakal, tapi bahaya laten di atas semua itu adalah bahaya kekafiran dan lenyapnya keimanan. Oleh sebab itu, dalam ayat yang sama Allah menegaskan,

 

                                               وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

 

           Fitnah (kekufuran dan kemusyrikan) adalah lebih besar bahayanya daripada pembunuhan (QS. Al-Baqarah, 217)

As’-Syaikh ‘Abd al-‘Aziz bin Baz, ketika menafsirkan ayat al-Anfal, 39 yang berbunyi, “Perangilah orang-orang kafir sehingga tidak ada lagi ftinah (kekufuran dan kemusrikan,” beliau mengutip ayat tersebut untuk membantah pendapat bahwa jihad diperlukan hanya untuk membela diri dari serangan orang kafir. Jihad melawan serangan orang-orang kafir adalah jihad tingkat pertama. Dengan ayat ini beliau menyatakan bahwa terdapat jihad tingkat selanjutnya, yaitu jihad sampai hari kiamat untuk memerangi kemusyrikan dan kekafiran yang merajalela. Beliau mengatakan,Sebagian orang menyangka, bahwa jihad ditegakkan hanya untuk membela diri saja. Dan Islam, menurut keyakinan mereka, hanya memerintahkan untuk memerangi orang yang memerangi atau jihad hanya untuk membela diri. Ini adalah kesalahan fatal. Padahal Allah menjelaskan wajibnya memerangi orang-orang kafir sehingga lenyapnya fitnah, yaitu kemusyrikan terhadap Allah ‘Azza wajalla.” (Abd al-‘Aziz bin Baz, Fatwa Pentingnya Jihad[2])

Maka sampai di sini, jelaslah bahwa menegakkan Khilafah di atas manhaj kenabian dengan berjihad di jalan Allah bukan merupakan alternatif, tapi satu-satunya jalan agar syari’at Islam dapat ditegakkan secara kaffah. Ini adalah tugas berat yang sudah lama dibiarkan, disia-siakan, dan disalahtafsirkan, hingga kemudian orang-orang Islam merasa asing terhadapnya.


[1] Tulisan ini diterbitkan di Majalah Tabligh Muhammadiyyah, Edisi Desember 2014